1. Peranan Wanita dalam Mendidik Umat
Syauqi mengatakan “Ibu ibarat madrasah, jika
kau persiapkan maka sesungguhnya anda sedang menyiapkan bangsa (besar) yang
wangi keringatnya.”
Wanita adalah guru pertama bagi sang anak,
sebelum dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam rahim, proses
pendidikan sudah dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu menangkap
rangsangan-rangsangan yang dberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar dan
merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun
merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa senang, ia pun turut
senang.
Kemudian bertambah hari, minggu dan bulan,
yang pada wakunya ia terlahir ke muka bumi. Dari enol hari, ia sudah berusaha
memahami apa yang diajarkan oleh seorang ibu. Bila seorang ibu membiasakan
anaknya dari kandungan sampai dewasa dengan adab-adab Islam, ia pun akan
terbiasa dengan hal itu. Tapi sebaliknya, bila ibu membiasakan dengan adab-adab
yang tidak Islami, ia pun akan ikut seperti ibunya. Saat inilah shibgah seorang
ibu sangat berpengaruh pada anak. Karena perkembangan otak sangat cepat. Daya
ingat masih kuat. Bagi seorang ibu perlu memperhatikan hal berikut :
2. Tarbiyah Ruhiyyah
2.1 Pendidikan Akidah
Bagaimana seorang ibu mampu menanamkan akidah
sedini mungkin, sehingga anak meyakini bahwa kita hidup tidak semau kita. Tapi
di sana ada pengatur, pengawas tujuan hidup, akhir dari kehidupan. Kemudian
meyakini bahwa apa yang terjadi pada kita, pasti akan kembali pada sang khalik.
Hal itu terangkum dalam rukun iman yang enam. Ketika ia besar, ia tidak lagi
ragu dan bingung mencari jati diri. Siapakah aku? untuk apa aku hidup? siapakah
yang harus aku ikuti dan dijadikan idola ? Dan seterusnya.
2.2 Pendidikan Ibadah
Ketika ibu menjalani kehamilan sampai
melahirkan, tidaklah berat baginya untuk mengajak si calon bayi untuk ikut serta
dalam melakukan ibadah harian. Seperi: sholat, puasa, membaca Alquran, berdoa,
berdzikir, dan lain sebagainya. Walau mungkin anak tidak paham apa yang
dilakukan dan diinginkan ibunya, tapi ketika ia menginjak dewasa (baligh), Insya
Allah ibadah-ibadah tadi akan mudah diajarkan. Sebab sudah sering melihat dan
mendengar, sehingga takkan terasa berat menjalaninya.
2.3 Pendidikan Akhlak
Pembiasaan akhlak yang baik tidak perlu
menunggu anak dewasa. Dari sini harus sudah dibiasakan. Sebab kebiasaan yang
baik, kalau tidak dibiasakan dalam waktu yang lama, sangat sulit untuk menjadi
akhlak. Justru ketika kebiasaan baik tidak ada dalam diri kita, dengan
sendirinya kebiasaan buruk akan menghiasinya tanpa harus dibiasakan.
Jika semenjak dalam kandungan seorang anak
dibiasakan mencintai orang lain, maka ketika lahir, ia pun akan berusaha untuk
mencintai orang lain. Apabila sfat-sifat sabar, tawadlu, itsar, tabah, pemurah,
suka menolong orang lain dan sebagainya dibiasakan, insya Allah ketika anak
sudah paham dan mengerti, akhlak-akhlak tadi akan menghiasi
kehidupannya.
Oleh sebab itu, Rasul menganjurkan kepada para
pemuda yang sudah waktunya nikah, untuk memilih calon istrinya seorang wanita
yang beragama dan berakhlak baik. Sebab dari wanita inilah, akan terlahir
generasi yang beragama dan berakhlak baik juga. Ibu seperti inilah yang akan
mengajarkan tuntunan agama yang telah terbiasa dan tertathbiq dalam dirinya. Di
antara tuntunan tersebut adalah akhlak yang mulia. Sedangkan wanita yang cantik,
pintar, atau kaya tidak menjamin akan melahirkan anak-anak yang berakhlak
mulia.
3. Tarbiyah Aqliyyah
Kata seorang penulis puisi, “Otak tidak diasah, akan tumpul”.
Pengasahan otak semenjak kecil akan lebih bagus, ketimbang jika sudah besar.
Bagai sebuah pisau, semakin lama waktu mengasahnya, maka akan semakin tajam.
Dalam nasyid juga disebutkan, “Belajar diwaktu kecil,
bagai mengukir di atas batu”. Tapi seorang ibu juga
harus bijaksana dalam hal ini. Jangan sembarangan dalam memberikan buku-buku
bacaan, untuk mengasah otak. Cukup banyak buku-buku yang ingin menghancurkan
generasi Islam.
4. Tarbiyah Jasadiyyah
Pendidikan inilah yang sering mendapat
perhatian dan jadi topik pembicaraan para ibu yang baru mempunyai anak.
Rangsangan-rangsangan ibu berupa olah-raga balita, sangat membantu anak dalam
perkembangan tubuhnya. Percepatan proses semenjak si anak tengkurap, merangkak,
jalan dan lari, tidak bisa dibiarkan sendiri. Namun bantuan ibu untuk melakuan
gerakan-gerakan itu sangatlah dibutuhkan anak. Karena pada hakikatnya, insting
yang dimiliki anak belum mampu menjangkau apa yang harus ia lakukan agar bisa
berbuat seperti orang dewasa. Contoh kecilnya, ketika lahir, Rasulullah menyuruh
para orang tua untuk mentahniq dengan memijat langit-langit mulut agar mampu
mengisap air susu ibunya. Olah raga atau tarbiyyah jasadiyyah ini tidak terbatas
pada usia balita, tapi bahkan sampai dewasa dan tua.
5. Peran Wanita dalam Mendampingi
Suami
Suami shaleh kebanyakan dibelakangnya ada
istri shalehah. Laki-laki dalam menjalankan tugasnya baik di dalam atau di luar
rumah sering mendapat kendala ujian dan cobaan. Kegoncangan jiwanya
kadang-kadang tidak mampu menngendalikannya sendiri. Nah, saat-saat seperti
inilah peran dan batuan istri sangat dibutuhkan. Istri yang shalehah selalu
memberi dorongan untuk terus maju memberi siraman ruhiyyah agar tetap semangat
dalam menapaki duri-duri jalanan, memberi bensin untuk tetap berjalan di atas
rel Islam. Ketika suami sedang panas tidak selayaknya istri mengompori, tapi
berusaha untuk meredam dan mendinginkan agar suami sadar dan sabar.
Banyak sekali suami terjerumus ke lembah hina
disebabkan istrinya tidak bisa membimbing ke arah yang baik. Juga tidak sedikit
suami dulunya kurang baik setelah beristri justru ia makin membaik. Oleh sebab
itu, wahai para ibu-ibu shalehah marilah kita dukung suami kita untuk menjadi
suami yang shaleh. Mencurahkan tenaga, pikiran, bahkan nyawa untuk tegaknya
Islam di muka bumi dengan tidak membebaninya dengan tugas-tugas rumah yang mana
pabila kita mengerjakannya dengan ikhlas, kita akan dapat pahala dan suami kita
semakin sayang pada kita.
Semangat di medan dakwah dan juang, marilah
kita berikan waktu seluas-luasnya pada suami kita untuk mencurahkan waktu
hidupnya untuk Islam tercinta. Istri selain sebagai motor bagi suami, ia juga
dibebani kewajiban-kewajiban terhadap suaminya agar tercipta keluarga-keluarga
yang sakinah, mawaddah warohmah. Karena dari keluarga inilah akan terbentuk
mujamaâ mitsaly dan dari mujtamaâ mujtamaâ ini akan terbentuk daulah
Islamiyyah.
Di antara kewajiban istri terhadap suami
adalah :
- Taat Suami
- Tidak keluar rumah tanpa idzin suami
- Tidak menjauhi tempat tidur suami
- Iffah
- Qona’ah dan ridlo dengan apa yang Allah berikan.
- Berhias dan memakai wangi-wangian
- Melaksanakan tugas-tugas rumah tangga
- Mendidik anak-anak
- Berlemah lembutdan berkata-kata manis.
Sembilan point ini bila kita mampu untuk
menjalankan semua, Insya Allah suami bahagia di rumah dan semangat di medan
dakwah. Wahai para ibu, jangalah engkau nyalakan api di keluargamu disebabkan
kelalaianmu atas kewajibanmu terhadap suami.
6. Peran Wanita dalam Menegakkan
Negara
6.1 Peran Wanita dalam Dakwah
Di samping wanita sebagai ibu rumah tangga dan
pendidik generasi, ia dalam satu waktu juga berperan sebagai pendidik para
pemudi-pemudi dan ibu-ibu. Di dalam rumah ia pendidik anak-anak, sedang di luar
rumah ia pendidik sebagian anggota masyarakat.
Jumlah wanita di dunia ini lebih banyak dari
pada jumlah laki-laki. Bila potensi ini tidak diarahkan dan dididik dengan baik,
ia akan menjadi penghancur masyarakat, negara bahkan dunia. Suatu masyarakat
dikatakan berhasil, bila wanitanya berakhlak mulia. Wanita bagaikan mahkota,
bila mahkota baik, maka seluruhnya akan kelihatan cantik dan bagus. Tapi bila
mahkotanya rusak, maka yang lainpun tidak ada artinya apa-apa.
Seorang wanita tidaklah cukup berkutat dalam
rumah saja sebagai IRT, karena para tunas bangsa dan agama telah menunggu uluran
tangannya. Apalagi pada saat ini, umat sedang mengalami penurunan akidah, moral
dan ibadah. Wanita tak segan-segan lagi melepas jilbabnya. Bahkan menanggalkan
pakaian muslimahnya, justru pakaian-pakaian barat, pakaian orang kafir yang
menjadi kebanggan mereka. Tidak malu-malu lagi wanita menggandeng, ngobrol,
pegang sana pegang sini dengan laki-laki bukan mahram. Pergi berduaan tanpa
merasa berdosa.
Berkhalwat dengan alasan urusan organisasi,
kantor dan sebagainya. Tidak sampai di situ saja, bahkan lebih dari itu. Oleh
sebab itu tugas kita adalah mentarbiyah diri kita, anak-anak dan seluruh lapisan
masyrakat, khususnya kaum wanita. Sedang kaum lelaki, akan dididik oleh para
suami dan pemuda-pemuda yang akan mentarbiyah mereka. Bahu membahu antara kita
dan suami akan menciptakan sebuah masyarakat Islami, yang pada akhirnya akan
menjadi sebuah negara Islam.
Adalah Ummu Syarik, setelah masuk Islam,
beliau mendakwahi wanita-wanita Qurasiy secara diam-diam dan mengajak mereka
menerima Islam. Zainab Al-Ghazali adalah di antara figur wanita modern penerus
Ummu Syarik. Meskipun wanita dibolehkan keluar rumah -khususnya berdakwah- namun
tetap ada batasan-batasan seputar pakaian:
- Pakaian harus menutup seluruh anggota tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan (dalam hal ini para ulama berbeda pendapat).
- Pakaian tidak menarik perhatian.
- Pakaian tidak sempit.
- Tidak pendek bagian bawahnya.
- Tidak beraroma minyak wangi.
- Tidak menyerupai pakaian laki-laki, karena Rasulullah melaknat perempuan yang menyerupai laki-laki.
- Tidak memakai pakaian dengan maksud agar terkenal di antara manusia.
6.2 Peran Wanita dalam Peperangan dan
Jihad
Peperangan pada hakekatnya diwajibkan atas
laki-laki, kecuali pada waktu-waktu darurat. Tapi tidak menutup kemungkinan
perempuan ikut andil di dalamnya. Di antara perannya dalam hal ini adalah
memberikan minuman, mengobati yang luka-luka akibat perang, menyiapkan bekal dan
lain-lain. Bila para wanita melakukan hal ini dengan ikhlas, pahalanya sama
dengan orang yang berjihad.
Sejarah pun telah menuliskan dengan tinta
emas, peranan wanita dalam peperangan. Ketika perang Yarmuk, Khalid bin Walid
sebagai panglimanya menugaskan wanita, diantaranya Khansa`, untuk berbaris di
belakang barisan laki-laki, tapi jaraknya agak jauh sedikit. Tugas mereka adalah
menghalau prajurit laki-laki yang melarikan diri dari medan perang. Mereka
dibekali pedang, kayu dan batu. Shafiyah binti Abdul Muthalib juga pernah
membunuh seorang Yahudi pengintai. Dan banyak lagi contoh-contoh yang nyata yang
dapat menjadi suri tauladan bagi kita.
0 komentar:
Posting Komentar